Senin, 04 November 2019

Bukan Warteg Biasa

"Bukan Warteg Biasa Bisa saja berikut warung Tegal (Warteg) paling tersohor se-Ibu Kota. Saban hari, sekitar 500 customer berkunjung dari sana. Supir angkot, karyawati, sampai jejeran selebritas jadi customer setia masih warung ini. Selebritas yang sering nongkrong di warung ini salah satunya Grup Band Republik, ST 12, Changcutters, sampai pelawak yang anggota DPR Eko Patrio. Piol, 64 tahun, sang pemilik, tidak pernah memimpikan usahanya berkembang seperti sekarang. Boro-boro menggunakan strategi dagang, kapan dia mulai usahanya dia tidak ingat. Dia hanya ingat merantau dari kampungnya di Tegal, Jawa Tengah dan hadir di Jakarta waktu Presiden Soeharto baru dikukuhkan atau sekitar 1967. Dengan suaminya, Patumu, dia berjualan kopi dan gorengan di bilangan Tebet. Target pasarnya, tukang becak. Bermodal utang sana-sini, yang jumlahnya sudah dia lupakan, Piol berkongsi dengan abangnya, Dasir, 65, membuat Warung Tegal di sudut Jalan Tebet Raya dan Tebet Timur, Jakarta Selatan. “Waktu itu pas Pak Harto ingin bikin Pemilu pertama (1971), aku ingat karena pas buka warung disuruh ke kantor kelurahan buat bikin KTP,” kata nenek dua cucu ini. Target pasarnya, masih tukang becak. Tahun pertama Warteg ini berdiri memang terusik. Beberapa tukang becak emoh berkunjung ke warung mereka. “Soalnya juragannya buka warung nasi, jadi dilarang beli makan di tempat lain,” kata Piol tersenyum. Menyebabkan, warung baru miliknya sepi customer. “Nunggu yang beli sampai ngantuk,” tuturnya. Tapi tidak sampai terbersit tekad tutup usahanya. “Mau makan ditambah lagi, wong modal sudah habis,” kata Piol. Konsistensi masih bawa hasil. Mereka lihat peluang pada saat malam. Tukang becak yang kerja sampai larut malam, dan sampai pagi, butuh pengisi perut. Tanpa ingat tahun berapakah, Warteg Jadi Jaya mulai buka 24 jam. Targetnya, tukang becak yang sedang shift malam. “Yang jaga gantian, bila aku sama suami siang, berarti kakak sama istrinya, malam,” kata Piol. Dari shift malam warungnya mulai memperoleh customer setia masih. “Siangnya mengawali ramai,” kata Piol. Pelanggannya terus semakin bertambah. Dua suami istri itu kewalahan layani customer dan mulai mempekerjakan karyawan. Satu antaranya Wajang Zaki, tetangga dari muka rumah Piol di Sidakaton, Tegal, yang mulai kerja pada 1996. Dia menjelma jadi lambang dari sana. Nama Jadi Jaya, hampir tidak pernah terekam di daya ingat customer setia. Customer setia lebih mengenal warung itu dengan panggilan Warmo atau Warung Mojok. “Entah kenapa aku dipanggil Warmo,” kata Zaki. Karyawan terus tumbuh bertepatan makin banyaknya customer setia. Sekarang warung itu mempekerjakan 22 karyawan, yang dibagi jadi dua waktu kerja. “Pagi 14 orang, malam 8 orang,” papar Zaki alias Warmo, yang didampuk jadi kepala pelayan. Menurutnya, keunggulan warung itu ada pada komplitnya menu. Di balik etalase, berderet 80 tipe masakan. Mulai dari gulai nangka, sayur sop, ayam goreng, telur asin, rempeyek udang, dan lain-lain. Itu masih ditambahkan berbagai tipe kerupuk, minuman, dan pisang fresh yang tergantung di atas etalase. “Jadi orang yang ada terus tidak bosen,” kata Warmo. Semua menu hadir dari resep Ibu Piol. Muhamad Farid, 37 tahun, jadi berlangganan Warmo sejak lima tahun terakhir. Karyawan perusahaan agen perjalanan di Jalan Tebet Raya itu hampir masih makan siang dari sana. Kenyataannya, “menunya super komplet,” katanya. Jadi, dia melanjutkan, setiap saat ada pengunjung bisa pilih menu yang berbeda. Sehari, Warmo bisa butuhkan 50 kg beras dan 20 ekor ayam. “Kalau ada menu yang habis, langsung dibikin ,” papar Warmo. Sore itu Tempo mengudap nasi plus gulai usus dan paru goreng seharga Rp 14 ribu. Warmo menampik dakwaan warungnya mahal. Menurutnya, harga sepiring nasi plus telur cuma Rp 5000. “Sama dengan Warteg lain,” katanya. Tapi harga bisa membengkak. Permasalahannya banyak customer yang tidak tahan lihat beberapa jenis makanan tersaji dari muka mata. “Kalau comot ini comot itu ya jadi mahal,” kata Warmo. Pendapatan warung mungil itu terhitung hebat. “Kami tidak ada target, tapi Rp 10 juta per bulan sih dapat,” papar Warmo. Sayang, dia malas menjelaskan untung bersihnya. “Itu internal,” katanya, tersenyum. Yang tentu, pendapatan bisa semakin bertambah dari sponsor. Di warung padat customer itu terpampang minimum dua iklan, yaitu produk minuman di papan nama dan obat gosok di kaus seragam pelayan. Waktu seisi warung ribet dan uang mengalir ke pundi, Piol terlihat santai di dapur. Gunakan daster lengan pendek dan penutup rambut, dia tidak memahami resep keberhasilan. “Mungkin cuma karena Tuhan kasihan lihat aku,” kata si nenek. Warung itu telah mengubah hidupnya. Dari pasangan tidak bersekolah diakhir 1960-an jadi orang-tua yang sedang menyekolahkan anaknya di universitas swasta di 2010. Piol dan suaminya, Patumu, 64 tahun, telah beli rumah Tebet dan naik haji pada 1997. Mungkin kesederhanaan sebagai kunci keberhasilan. Menurut anak buahnya, tidak ada yang berubah pada bosnya. “Gak pernah bertingkah atau terlihat seperti orang kaya,” kata Warmo. Piol seringkali gunakan daster lusuh di warung, seperti waktu pertama dia layani customer, lebih 40 tahun tempo hari. Matahari turun ke peraduan. Akan menunaikan melaksanakan ibadah magrib, si nenek pamit ke tempat tinggalnya di Gang Trijaya Tebet Barat, sekitar 1 km. dari warung, berjalan kaki. Reza M Dari Tukang Becak Sampai Anggota DPR Air liur Eko Indro Purnomo, 39 tahun, langsung ada waktu dengar nama Warmo. Jejeran menu kesukaannya seakan terbentang dari muka mata, mulai tempe goreng, gulai cumi, sampai telur asin. “Ah, bikin gue pingin makan saja,” katanya pada Tempo, Kamis pertengahan Maret tempo hari. Dia pertama kali bertandang ke Warung Tegal Warmo Jadi Jaya sekitar 1999. Permulaannya, dia kesulitan mencari penawar lapar usai kerja tengah malam. Maklum rumah produksi Ekomando miliknya seringkali lembur sampai larut. “Kebanyakan tempat makan jam 10 malam sudah pada tutup,” kata pria yang akrab dipanggil Eko Patrio itu. Lebih, seleranya keunikan Indonesia: nasi jadi menu harus. Warung Tegal yang buka 24 jam jadi jalan keluarnya. Karena jarak warung dan rumah produksi Eko hanya sekitar 2 km., dia lalu sering makan dari sana. Kadang ajak kerabatnya dari Grup Lawak Patrio: Parto dan Akrie. Eko memiliki langkah istimewa nikmati makanan di Warmo, yaitu mengaduk nasi dengan beberapa jenis kuah sayur, lalu dibumbuhi kecap. “Lauknya apa, bila dirames demikian pasti enak,” tuturnya, sekalian menelan ludah. Kegemaran pada Warmo tidak luntur walaupun dia telah duduk di kursi terhormat di Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Komisi X dari Partai Amanat Nasional ini terakhir makan dari sana Sabtu (13/3) malam lalu dengan istrinya, Viona Rosalinda. Walau seringkali ajak relasi dunia hiburannya makan di Warmo, Eko belum ajak rekannya di DPR mencicip hidangan di Warteg yang ada di Simpang Jalan Tebet Raya dan Tebet Timur itu. “Mungkin nantinya, bila habis rapat DPR yang sampai malam dan rekan-rekan pada lapar,” katanya, tersenyum. Wajang Zaki alias Warmo, 35 tahun, kepala pelayan dari sana menerangkan jejeran pesohor seringkali berkunjung di warungnya. Mulai dari pelantun dangdut terkenal Iis Dahlia sampai grup musik pendatang baru Republik, dari aktor tampan Tengku Ryan sampai presenter Ivan Gunawan. Menurut Warmo, kedatangan warungnya menebar dari mulut ke mulut. “Kalau customer setia suka, mereka akan cerita, jadi tidak butuh pasang iklan,” tuturnya, bangga. Walaupun warungnya bertabur bintang, Warmo mewanti-wanti bawahannya untuk tidak membeda-bedakan customer setia. Mulai dari sopir angkot sampai anggota DPR kudu dilayani sama juga dengan. “Saya belum pernah dilayanin istimewa, bila penuh ya ngantri,” kata Eko Patrio. Pemilik warung, Ibu Piol, 64 tahun, tidak bikin pusing warungnya dikunjungi selebritas. Dia dan tidak paham pesohor-pesohor sebagai fans masakannya. “Saya mah bila artis tahunya Mak Wok sama Benyamin S,” tuturnya, polos. Reza M "" "

Tidak ada komentar:

Posting Komentar